Transparansi, Semangat Kolektif untuk Memperbaiki Tata Kelola Industri Ekstraktif
event Diterbitkan pada: 2016-04-07
Transparansi merupakan semangat kolektif demi mengupayakan perbaikan tata kelola sumber daya ekstraktif di Indonesia. Selain keterbukaan data, transparansi membutuhkan kemauan politik dan insentif supaya dapat berlaku merata di seluruh mata rantai keputusan industri ekstraktif.
Demikian benang merah lokakarya yang difasilitasi oleh Research Center for Politics and Government (PolGov), FISIPOL, UGM pada 6-7 April di Jakarta. Lokakarya yang bertajuk “Transparansi sebagai Passion” itu didukung oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Sekretariat EITI Indonesia, Global Affairs Canada, Natural Resources Governance Institute (NRGI), dan Bank Dunia. Lokakarya melibatkan perwakilan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan industri ekstraktif di Indonesia, yaitu pemerintah, praktisi, akademisi, dan sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil.
Hadir sebagai pembicara antara lain Asisten Deputi Industri Ekstraktif Kemenko Bidang Perekonomian Ahmad Bastian, Kepala Seksi Dampak Kebijakan Perpajakan Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Adriansyah, Plt Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Huku Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gamil Abdullah, mantan Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) dan praktisi dari Bimasena Energy Society Ananda Idris, serta Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo.
Ketua Tim Sekretariat EITI Indonesia Edi Effendi Tedjakusuma mengatakan bahwa transparansi merupakan norma global, pijakan keterbukaan di sektor ekstraktif untuk mendorong pemanfaatan tambang bagi kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan dalam skema transparansi internasional seperti Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) merupakan salah satu upaya mendorong keterbukaan kontrak karya, pelaporan, dan pendapatan di sektor industri ekstraktif di Indonesia.
“Walaupun sudah berjalan di tahun keenam, kapasitas sebagai stakeholders EITI harus kita perbaiki. Mengapa (kapasitas) penting karena berkaitan dengan sektor pembangunan yang penting yaitu sektor migas dan tambang. Sekitar 30 persen penerimaan negera berasal dari sektor ini.” kata Edi.
Direktur Program Resource Governance in Asia Pacific (RegINA-PolGov) Purwo Santoso juga menekankan peningkatan kapasitas jejaring EITI sebagai bagian dari pemahaman warga negara. Transparansi tidak sekadar ketersediaan dan penggunaan data namun bagaimana memperlakukan transparansi sebagai penguasaan pengetahuan oleh semua pihak.
“Poin saya bukan hanya mengambil alih pengetahuan, namun bagaimana tercapainya tujuan negara melalui knowledge system. Pemerintah sebagai eksponen yang menjalankan amanat UUD 1945 harus menyebarkan pengetahuan supaya menjadi milik bersama. Citizen understanding. Transparansi sebagai passion adalah bagaimana transparansi sebagai kecerdasan kolektif untuk mengatasi kutukan sumber daya alam,” jelas Purwo.
Komitmen Politik dan Insentif
Forum lokakarya menyepakati perlunya komitmen politik serta konsistensi implementasi kebijakan untuk menerapkan transparansi di seluruh rantai keputusan. Komitmen politik juga dibutuhkan untuk memastikan insentif bahwa manfaat transparansi dirasakan oleh banyak pihak.
Tenaga Pengkaji Bidang Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Adijanto mengemukakan perlunya komitmen politik supaya daerah yang sudah menerapkan transparansi menerima insentif. Menurutnya, kerangka kerja semacam itu penting demi menjaga stabilitas hubungan pusat dan daerah. “Selama ini daerah tidak mengalami atau tidak merasakan insentif transparansi, yang sebetulnya amat mereka butuhkan. Kementerian ESDM perlu mendistribusikan informasi tentang mana bagian kewajiban dan juga hak karena banyak daerah belum paham, misalnya terkait penerimaan daerah,” kata Adijanto.
Perwakilan dari Asosiasi Tambang Indonesia Rini G Ranti juga menekankan perlunya komitmen politik dari pemerintah untuk memastikan skema EITI ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan daerah.
“Untuk daerah seperti Papua, yang tingkat pendidikan SDM masih rendah, banyak uang (dari kompensasi dan hasil tambang) tapi tidak bisa mengelola sendiri. Kolaborasi pusat dan daerah amat penting untuk menindaklanjuti skema EITI yang sudah bagus secara tuntas,” kata Rini yang juga bekerja di bagian perpajakan PT Freeport Indonesia.
Minimnya insentif bagi pihak yang menerapkan transparansi juga menjadi perhatian praktisi dari Bimasena Energy Society Ananda Idris. Menurutnya, minimnya insentif bagi pelaku transparansi ditambah kompleksitas persoalan dalam industri ekstraktif di Indonesia menyebabkan sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) masih enggan mematuhi skema EITI Indonesia.
“Korporasi sebetulnya, dari head officenya, sudah dituntut untuk transparan. Kesulitan saya ketika mengajak teman-teman KKKS di sini untuk mengikuti EITI Indonesia, mereka bilang bahwa Cevron di Amerika atau BP di London sudah mengikuti EITI Internasional jadi tidak perlu lagi mengikuti EITI Indonesia,” tambah Ananda.
Tantangan EITI
Lokakarya juga membahas sejumlah persoalan dalam industri ekstratif yang dapat menjadi kendala bagi masa depan EITI di Indonesia. Forum mengemukakan sejumlah persoalan dari lemahnya koordinasi antarpemerintah, persoalan cost recovery, hingga kontrak yang bermasalah. Sementara itu, korupsi dan perburuan rente menambah kompleksitas masalah yang membuat banyak pihak bersikap skeptis terhadap skema EITI.
Laporan EITI 2015 menunjukkan adanya perbedaan data sebesar satu hingga tiga persen antara royalti yang dibayarkan oleh wajib pajak perusahaan dengan pajak yang diterima oleh Direktorat Pajak. Sejumlah perusahaan besar diketahui membayar relatif lebih kecil dari rata-rata pembayaran perusahaan lainnya yang sejenis. Tanpa komitmen politik, temuan EITI sulit ditindaklanjuti dan diproses secara hukum. Data Direktorat Jenderal Keuangan menunjukkan realisasi penerimaan pajak sektor pertambangan migas sebesar Rp 116 triliun atau sekitar 11 persen dari total penerimaan tahun 2015.
Menurut Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas Diani Sadia Wati, komitmen politik dari pemerintah antara lain ditunjukkan dengan perbaikan regulasi pertambangan yang mengatur praktik pertambangan yang baik di seluruh rantai keputusan. Saat ini pemerintah fokus pada upaya memangkas regulasi yang tidak efisien demi mendukung kenyamanan investasi. Direktur Diani mengatakan bahwa pihaknya telah mengkaji sekitar 4.200 peraturan hukum sepanjang tahun 2006-2013.
Diani mengatakan, “pendekatan yang dilakukan oleh Bapennas, sekarang dengan pendekatan multi pihak, dimana bapennas ditugaskan oleh Bapak Presiden sebagai sistem integrator dan juga pendekatan dari sisi penganggaran dengan money follow program ini diharapkan untuk mempercepatlah upaya-upaya tadi yang dengan decision chain.”
Direktur Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyampaikan kritik bahwa pemerintah sebagai regulator masih terkesan ambigu untuk mengambil solusi atas tumpang tindih peraturan hukum. Pemisahan antara regulator dan operator hanya berlaku di sektor migas, sementara sektor minerba masih tarik ulur dalam revisi UU Minerba no 4 Tahun 2009.
Yustinus mengatakan, “Kondisi itu memengaruhi banyak hal, misalnya sektor pajak, konsistensi perlakuan perpajakan untuk rezim pertambangan yang berbeda. Apakah prevailing atau nailed down – tunduk pada kontrak atau tunduk pada aturan yang berlaku. Tiap kantor beda-beda tafsirannya sehingga tidak ada kepastian hukum. Pemerintah bukan sekadar regulator dan fasilitator, tapi harus menjadi akselerator karena situasinya krisis, tambang sudah sunset secara alamiah.” (ISW)
Lihat juga video tentang transparansi [Tautan Terkait]