event Diterbitkan pada: 2016-03-10

JAKARTA - Kesenjangan ekonomi, diskriminasi, meningkatnya eskalasi konflik dan absennya peran negara memberikan perlindungan pada kelompok minoritas dari represi kelompok mayoritas dan sistem ekonomi pasar menjadi bahan diskusi terfokus yang diselenggarakan Yayasan TIFA. Diskusi terfokus bertema “Membaca Relasi Pasar dan Demokrasi: Implikasi bagi Indonesia” ini melibatkan sekitar 20 wakil dari lembaga masyarakat sipil, akademisi dan media.

Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Darmawan Triwibowo mengatakan Indonesia perlu cermat membaca relasi pasar dan demokrasi yang berkembang saat ini. Ia mencatat praktik pembajakan demokrasi (democratic capture) yang meluas di semua level yaitu nasional dan lokal, layaknya memfasilitasi dampak negatif dari perluasan pasar untuk kepentingan elit. Kondisi ini, kata Darmawan, menunjukkan perangkat demokrasi yang ada hanya berfungsi sebagai pelayan pasar.

“Negara tidak berfungsi efektif menjalankan tugas pemenuhan hak-hak warga negara,” katanya dalam pembukaan diskusi yang berlangsung Kamis (10/3/2016) di Hotel Morrisey, Jakarta. “Perlu dipikirkan langkah bersama untuk mengatasi persoalan ini.”

Ilham Saenong (Transparansi International Indonesia) menduga, oligarti dan lemahnya fungsi negara karena praktik korupsi yang masih meluas. Memanfaatkan sistem demokrasi, pebisnis masuk dalam kekuasaan dan mempraktikkan transaksi politik. Di sisi lain aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan masih lemah dalam mengawal kasus korupsi.

Sedangkan dalam perumusan regulasi pelibatan masyarakat sering kali hanya menjadi “stempel”. Transparansi belum berjalan sebagai mana mestinya dan pemerintah mengukur praktik akuntabilitas hanya dari ketersediaan informasi anggaran. Karena itu ia mendorong audit sosial melibatkan publik untuk pengecekan kesesuaian rencana anggaran dan realisasinya. “Realisasi tidak hanya berdasarkan klaim yang dilakukan pemerintah tapi juga pelibatan masyarakat,” katanya.

Forum juga menilai masalah buruh migran yang rentan menjadi korban perdagangan manusia dari sejak proses perekrutan, dan lemahnya perlindungan di luar negeri, diskriminasi dan ketimpangan yang masih dialami perempuan serta pemenuhan hak-hak minoritas seperti agama minoritas, suku terpinggirkan saat ini terus terjadi karena kekuasaan yang tidak sensitif. Recognisi atau pengakuan pemerintah terhadap kelompok minoritas dinilai hanya “di atas kertas” tapi rendah implementasi. Salah satu contohnya pengakuan pemerintah pada agama penghayat sangat lemah sehingga kelompok ini tidak mendapat hak identitas, tidak dapat akses pendidikan, dan ekonomi.

Upaya menjaga perdamaian di Aceh dan konflik di Papua menjadi topik hangat dalam diskusi yang berlangsung hingga petang ini. Hingga kini, masalah Papua tidak kunjung selesai karena pola pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua masih menggunakan senjata bukan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan seperti yang dilakukan di daerah konflik lainnya seperti Aceh dan Timor Leste.

Peran media yang lemah dalam mengawal proses demokrasi dan pemenuhan hak-hak minoritas serta rentan intervensi pemilik modal pun menjadi sorotan. Suwarjono dari Aliansi Jurnalis Independen mengatakan kondisi ini terjadi karena 80 persen dari sekitar 3.000 media di Indonesia yang tercatat di Dewan Pers dikuasai 12 kelompok. Sehingga konten berita masih Jakarta sentris dan rendah sensitifitas terhadap isu lokal dan kelompok minoritas.

Karena itu, Abdul Gaffar Karim dari Universitas Gajah Mada menegaskan perlu solusi yang menyeluruh dengan memastikan negara mengetahui masalah, kebutuhan masyarakat dan kelompok minoritas. “Demokrasi menjadi alat operasional bukan sekedar empty signifier, ada tapi tidak punya makna,” katanya. **

[Publikasi awal di laman AJI]