event Diterbitkan pada: 2015-11-30

 

Terhentinya kegiatan tambang di Torong Besi merupakan buah dari advokasi anti-tambang yang digerakkan jaringan masyarakat lingkar hutan bersama organisasi masyarakat sipil. Meski perusahaan tambang kini tak lagi beroperasi di Torong Besi, masyarakat lingkar hutan terus membicarakan kemungkinan kembalinya kegiatan tambang ke wilayah hutan adat mereka.

Secara administratif, Torong Besi berada di tiga wilayah desa di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Ketida desa itu yaitu Desa Robek, Watu Baur, dan Wangkung. Gerakan tolak tambang yang menggelinding sejak tahun 2008 berhasil memaksa pemerintah Kabupaten Manggarai menghentikan aktivitas PT Sumber Jaya Asia (PT SJA) di kawasan Torong Besi. Perusahaan yang berpusat di China ini mulai beroperasi pada tahun 2007 berbekal Keputusan Bupati Manggarai no HK/287/2007 tentang Izin Pemindahan dan Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Mangan KW 9 PP 0208 dari PT Tribina Sempurna kepada PT Sinar Jaya Asia. Namun, kuatnya desakan masyarakat mendorong Bupati Manggarai Christian Rotok menganulir izin usaha PT SJA pada tahun 2009. Keputusan Bupati no HK/72/2009 juga menghentikan segala kegiatan eksploitasi di wilayah hutan lindung Torong Besi.

Selain menyoroti kebijakan, gerakan masyarakat juga menuntut aparat hukum mengusut di balik pemberian izin usaha pertambangan PT SJA. Perusahaan ini terbukti melanggar ketentuan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan menambang mangan secara terbuka di areal hutan lindung tanpa mengantungi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan. Pada 28 Maret 2010, Kepolisian Resor Manggarai menyegel lokasi pertambangan PT SJA dan menyita lebih dari 21.000 ton mangan yang siap dikapalkan. Tiga orang tersangka ditetapkan dalam kasus ini. Meskipun berkas ketiganya tidak pernah dilimpahkan ke pengadilan, kejadian ini berhasil membekukan seluruh kegiatan operasi  PT SJA di Torong Besi.

Gaspar Sales, ketua kampung adat Gincu di Desa Robek, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT menyatakan bahwa berhentinya kegiatan perusahaan tambang merupakan keberhasilan gerakan masyarakat adat di Torong Besi. “Berhasil kami punya demo. Keputusan kecil, disegel oleh polisi, tutup SJA ini. Jadi pikiran kami, ini salah satu kemenangan juga toh? Biar mereka (ada aset) di dalam (hutan) yang penting perusahaan ini tutup,” kata Gaspar pada awal Oktober 2015.

Membangun Jaringan

Gerakan anti-tambang di Torong Besi bermula dari aksi sporadis sejumlah warga yang menolak kegiatan pertambangan di kawasan hutan ulayat adat. Kawasan hutan lindung ini tidak pernah terbebas dari pertambangan meski telah disahkan sebagai hutan lindung milik negara sejak tahun 1950-an. Kegiatan tambang sudah dimulai sejak PT Arumbai beroperasi pada tahun 1994 hingga PT SJA yang mengakhiri kegiatan operasional pada tahun 2010. Kegiatan itu menyebabkan kehancuran sebagian wilayah gunung dan hutan di Torong Besi.

Masyarakat sekitar hutan awalnya tidak berani berbicara. Baru ketika reformasi bergulir, sejumlah tetua kampung berani mengambil sikap. Kekeringan parah yang melanda wilayah itu pada tahun 2007 menjadi momentum warga untuk memulai aksi. Masyarakat meyakini kekeringan terjadi akibat pertambangan mangan yang menghancurkan sumber-sumber mata air di hutan Torong Besi. Sejumlah tetua menghimpun warga kampung adat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan Torong Besi, yaitu Lumpung Gincu dan Lumpung Jengkalang. Perwakilan adat mendatangi kantor pemerintah daerah dan DPRD untuk melaporkan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Namun, berulang kali kedatangan mereka tidak digubris.

Menyadari keterbatasannya, masyarakat adat mengubah strategi. Pada tahun 2008 mereka meminta dukungan organisasi masyarakat sipil dengan mengajukan surat resmi permohonan pendampingan yang ditandatangani oleh seluruh warga.

“Dahulu kami memang tidak kenal lembaga di kabupaten Manggarai. Kami juga belum tahu apa itu LSM. Setelah kami konfirmasi pada pihak lain, kami punya putra-putra yang belajar di luar di Manggarai, kami bertemu dengan lembaga yang nanti bisa mendampingi. Lembaga keuskupan dari jalur gereja, kita coba dekat. Kami bawa ke rumah adat ini, mohon pendampingan,” kata Gaspar.

Banyak tokoh dan organisasi masyarakat sipil merespon positif. Sejumlah organisasi memberikan dukungan, antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), jaringan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), jaringan advokasi tambang (JATAM), dan lembaga advokasi di bawah Keuskupan Ruteng, Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC).

Sejak itu, masyarakat adat mampu menyusun advokasi yang lebih rapi. Mereka membentuk Masyarakat Lingkar Tambang kawasan hutan Nggalak Rego untuk mengonsolidasi isu tolak pertambangan menjadi wacana yang padu. Selain aksi demonstrasi damai, jaringan ini juga menyusun beragam strategi advokasi, dari pembentukan opini di media massa hingga class action di jalur hukum. Dalam waktu singkat, gerakan ini menarik perhatian masyarakat nasional dan juga internasional.

Arsitek penting di balik strategi ini adalah Pater Simon Suban Tukan, SVD (JPIC) yang intens mendampingi masyarakat adat hingga saat ini. Selain itu, mantan anggota DPRD Kabupaten Manggarai Rony Marut juga aktif membantu advokasi di level pemerintahan.

Menanggapi perannya dalam gerakan tolak tambang, Pater Simon mengatakan bahwa gerakan itu merupakan bagian dari pendidikan masyarakat untuk memperjuangkan pemenuhan kebutuhan dasar ekonomi dan sosial. Selama ini, menurut Pater Simon, pemerintah dan masyarakat sama-sama lemah dalam memahami potensi serta implikasi kekayaan sumber daya alam di bumi Manggarai.

“Peran kami adalah fasilitator yang bisa menghubungkan masyarakat dengan pengambil keputusan dan pengambil keputusan dengan masyarakat. Sehingga bisa dilihat pendekatan sangat berbeda dengan kebanyakan teman-teman yang terlibat di advokasi di sini. Kita tidak musuh dengan pemerintah, tapi sebagai rekan dialog dimana kita bicara dengan dia kalau ada kesulitan dengan beberapa kebijakan atau kesalahan dalam pengambilan keputusan,”kata Pater, Senin (5/10).

Aturan Pengukuhan

Meski telah berhasil menghentikan kegiatan pertambangan di Torong Besi, tantangan gerakan anti-tambang belum berakhir. Tanpa SK Penetapan, Torong Besi rentan dimakan ketamakan pengusahaan hutan.

UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mensyaratkan pengukuhan kawasan hutan harus melalui empat proses yaitu penunjukan, penataan, pemetaan, dan penetapan. Namun, Torong Besi baru memenuhi tiga proses. Hingga saat ini, pengukuhan status hutan lindung di Torong Besi masih menunggu surat keputusan penetapan kawasan hutan (SK Penetapan) yang tak kunjung terbit. Secara hukum, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 89/Kpts-II/1983 tentang Penunjukan Areal Hutan di wilayah Provinsi NTT mengesahkan kawasan hutan di Torong Besi sebagai hutan lindung bernama resmi Nggalak Rego RTK 103. Dokumen ini dilengkapi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi NTT, Penataan Tata Batas Hutan dan Peta Tata Batas dengan skala 1:20.000 tanggal 28 Februari 1997 yang mematok hutan Nggalak Rego RTK 103 seluas 14.690,30 ha.

Selain itu, sejumlah aturan pengusahaan hutan tumpang tindih dengan konservasi kehutanan. Hal ini menyebabkan pengawasan hutan tak optimal, seperti terbitnya izin usaha pertambangan seluas 44 hektar di kawasan hutan lindung Nggalak Rego. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT Ganggut Agustinus mengakui karut marut tata kelola sumber daya hutan. Di masa mendatang, menurut Ganggut, pengawsan hutan makin problematis dengan UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa yang telah menarik seluruh kewenangan urusan kehutanan di pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, termasuk peran pengawasan. Aturan ini akan berlaku efektif tahun 2016.

“Dalam otak saya hanya berpikir begini, kami yang orang asli daerah saja tidak bisa mengurusi hutan apalagi mereka datang dari luar. Sekarang urusan hutan tidak dengan kami, urusan hutan kita tidak pegang sama sekali, karena kewenangan kabupaten hanya mengurus hutan di luar kawasan hutan. Yang ada di dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab pusat,” kata Ganggut, Kamis (8/10).

Hikayat Tanjung Besi

Selain menunjukkan besarnya potensi sumber daya alam di wilayah itu, pusaran konflik kepentingan di Torong besi memperlihatkan posisi penting wilayah ini dalam relasi sosial ekonomi masyarakat setempat. Sejak zaman dahulu, Torong Besi merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat di pesisir Utara Pulau Flores.

Merunut cerita lisan, kawasan Torong Besi sudah menjadi pelabuhan nelayan dan tempat sandar para pelaut sejak masa 1930-an. Dalam bahasa Manggarai, torong berarti tanjung atau tanah yang menjorok ke laut. Disebut besi karena di pasir pantainya mengandung besi dengan medan magnet yang kuat. Konon, medan magnet pantai Torong Besi tak pernah meleset mengarahkan para pelaut Bugis, Bone, dan Buton yang sering singgah. Di kawasan ini pula terdapat puncak Golo Pertujuk atau gunung yang menjadi penunjuk. Gugusan awan di puncak Gunung Pertujuk merupakan penanda angin laut bagi para nelayan dan musim tanam bagi petani setempat.

Cerita yang lain menyebutkan Torong Besi luput dari air bah yang menenggelamkan sebagian Flores. Sebuah cangkang kerang berukuran besar muncul di puncak Gunung Pertujuk. Kerang itu mengeluarkan air yang tak akan habis meski diminum oleh ratusan orang di sepanjang musim. Dalam bahasa setempat, air yang keluar dari cangkang disebut sebagai air kerang atau air kima. Telaah ilmu pengetahuan modern menerjemahkan cerita lisan ini antara lain ke dalam bukti geologis tenggelamnya Sundaland dan terangkatnya sejumlah daratan membentuk gugusan kepulauan Sunda Kecil pada masa 8.000 tahun lalu. Daratan Sunda Kecil itu kini dikenal sebagai pulau-pulau kecil, dari Bali, Nusa Tenggara Barat, hingga Nusa Tenggara Timur.

 Dalam kehidupan modern, Torong Besi merupakan harapan. Hutan lindung di Torong Besi semula merupakan hutan tutupan yang dimiliki oleh ulayat adat yang berinduk di desa adat Gendang Loce dan Gendang Kerkuak. Kebijakan nasional penghimpunan aset tak luput memasukkan kawasan hutan ini sebagai aset milik negara pada tahun 1950-an.

Pertambangan yang kini meninggalkan jejak kerusakan di Torong Besi membuat masyarakat adat merasa prihatin. Menurut Gaspar, leluhur mereka sudah menetapkan hutan lindung sejak kedatangan mereka di Torong Besi pada tahun 1936. Penyerahan hutan kepada negara merupakan bentuk kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah saat itu. “Dahulu hutan itu untuk anak cucu, daerah tangkapan hujan, bisa diambil kayunya untuk bangun rumah-rumah. Setelah merdeka dikukuhkan oleh negara. Mereka (nenek moyang) setuju, demi keamanan, hutan jangan diberi ke siapa-siapa, dimasukkan kedalam hutan negara. Kecewanya kami sebagai cucu-cucunya sekarang, datang pemerintah membongkar tanpa ada konfirmasi dengan masyarakat, apalagi kompensasi,” kata Gaspar.

Selain menghancurkan ekologi, tambang telah mengoyak ruang batin masyarakat adat. Yacobus Daud, tokoh adat di Lumpung Gincu, Desa Robek meyakini bahwa kenyamanan di masa sekarang dipenuhi oleh kepalsuan zaman. Rusaknya alam lingkungan membawa penderitaan yang tidak dapat diungkapkan. “Kita kehilangan. Nenek moyang tidak ada lagi, yang tersisa hanya kemarahan,” katanya pada awal Oktober 2015.

 ---------------------------------------

Indah Surya Wardhani, Knowledge Management Officer, Program Resource Governance in Asia Pacific (RegINA), Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada.

[Sumber foto]