event Published at: 2016-01-18

Floresa.co – Riset terbaru yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada Yogyakarta menyimpulkan adanya praktek peminggiran masyarakat lokal di Nusa Tenggara Tiimur (NTT) dalam tata kelola tambang.

Riset itu yang diadakan oleh Research Centre for Politics and Government (PolGov), Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dirilis dalam sebuah diskusi yang digelar di Kupang, hari ini, Senin (18/1/2016).

Di NTT, UGM mengkaji kasus tambang mangan di Kabupaten Manggarai – Flores dan di Kabupaten Belu – Timor Barat.

“Masuknya perusahaan tambang dan pengambilan keputusan untuk menambang (decide to extract) selama ini tidak pernah melibatkan persetujuan masyarakat lokal. Padahal, masyarakat lokal yang harus menanggung resiko dan biaya kerusakan ekologi alam dan sosial yang diakibatkan kegiatan eksplorasi mangan di dua wilayah tersebut,” demikian menurut kajian UGM dalam pernyataan tertulis yang diterima Floresa.co, Senin.

Riset ini menemukan bahwa masyarakat lokal sebenarnya memiliki pengetahuan yang berbasis pada tradisi dan kebudayaan untuk melindungi kelestarian dan keseimbangan ekologi.

Karena itu, dengan membuka ruang bagi masyarakat lokal menyuarakan aspirasi, pemerintah daerah dapat mengoptimalkan kontrol publik untuk meminimalkan resiko destruktif aktivitas ekstraktif.

“Selain itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam proses penerbitan lisensi pertambangan diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan hasil tambang bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat di NTT,” demikian menurut UGM.

Selain Manggarai dan Belu, penelitian juga telah dilakukan di Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan di Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.

Keempat daerah tersebut dipilih selain karena alasan kandungan sumber daya alam yang melimpah, juga konteks sosio-politik yang mempengaruhi tarik ulur kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

Acara diseminasi hasil riset di Kupang hari ini dengan topic “Memperkuat Simpul Pengetahuan Lokal untuk Tata Kelola Sumber Daya Alam”, dihadiri oleh ragam elemen dari pemerintah provinsi dan kabupaten, organisasi masyarakat sipil, kalangan akademisi serta perwakilan dari masyarakat lokal di sekitar lokasi pertambangan.

“Komposisi undangan dengan variasi perspektif yang berbeda diharapkan mampu menuju satu simpulan yang menawarkan alternatif kebijakan dan mengakomodasi pengetahuan lokal masyarakat untuk masuk dalam pertimbangan penyusunan kebijakan publik,” demikian menurut rilis UGM. (Ari D/ARL/Floresa)

--------------------------------------------------------

[Originally published in Floresa.co] - photo credit: JPIC-OFM