event 2016-01-26   local_offer Local Knowledge   edit Gusty Fahik

Senin 18 Januari 2016, bertempat di salah satu hotel di Kota Kupang berlangsung sebuah diskusi hangat bertajuk, Penguatan Simpul Pengetahuan Lokal Bagi Tata Kelola Sumberdaya. Ini adalah hasil riset yang dilakukan oleh Jurusan Politik Pemerintahan (JPP) FISIPOL UGM di Kabupaten Belu dan Manggarai. Secara ringkas, hasil riset ini menyimpulkan bahwa tata kelola sumberdaya perlu dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan lokal, terutama terkait dengan cara pandang masyarakat lokal terhadap lingkungan, dan berbagai aspek kultural yang berlaku dalam komunitas masyarakat lokal.

Hasil riset ini paling tidak turut menjawab keresahan yang terus didengungkan oleh berbagai kalangan bahwa masyarakat lokal cenderung terpinggirkan dalam proses dan eksekusi kebijakan tata kelola sumber daya alam di daerah. Namun, ada dua pertanyaan lanjutan yang bisa diajukan, yakni, pertama, sejauh mana pengetahuan lokal ini dapat dimanfaatkan dan mampu membawa dampak positif bagi masyarakat lokal?

Kedua, apakah dengan adanya pemanfaatan pengetahuan lokal dalam tata kelola sumberdaya secara langsung dapat menempatkan masyarakat lokal pada posisi yang setara dengan dua pihak lain, yakni pemerintah dan investor?

Melihat ke Belakang
Bila saat ini pengetahuan lokal dirasa tidak dimanfaatkan bahkan cenderung diabaikan dalam proses pengambilan dan eksekusi kebijakan oleh pemerintah, maka kita seharusnya bisa menyadari bahwa ada yang salah pada masa lalu, yang imbasnya baru kita rasakan sekarang.

Selama puluhan tahun, pengetahuan-pengetahuan lokal di NTT cenderung dibiarkan tinggal dalam sangkar tradisi lisan, dan nyaris tidak pernah dimasukkan dalam pelajaran-pelajaran formal di bangku sekolah. Kebanyakan studi atau penelitian terkait pengetahuan lokal seperti cara menanam jagung, atau cara beternak pada kelompok etnis tertentu, hanya terbatas untuk memenuhi tuntutan tertentu, misalnya demi menyelesaikan skripsi, tesis atau disertasi.

Pengetahuan lokal, barangkali secara tidak sengaja atau sengaja, telah lama dipinggirkan dari masyarakat lokal dan generasi-generasi muda NTT entah pada masa lalu maupun masa kini. Sebagai misal, kaum terpelajar kita mungkin akan lebih mengenal sistem pengairan orang Bali yang disebut Subak, daripada sistem pengairan yang diterapkan oleh nenek moyang di daerah asalnya.

Alasannya cukup sederhana yakni cara pengairan orang Bali yang disebut Subak itu dimasukkan dalam materi pelajaran kelas IV Sekolah Dasar pada tahun 1980-an hingga saat ini.

Sementara pegetahuan lokal untuk hal yang sama tidak pernah disinggung, apalagi dimasukkan dalam materi pelajaran.
Meski demikian, saya tidak bermaksud memersalahkan apa yang sudah terjadi pada masa lalu, tetapi bagaimana masa lalu itu memberi gambaran tentang apa yang mesti dilakukan agar pengetahuan lokal bisa menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat lokal yang sedang beralih atau sudah menjadi bagian dari masyarakat global.

Artinya, pengetahuan lokal yang dianggap relevan perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan formal, sehingga dapat diketahui dan diakui sebagai bagian dari kekayaan kultural daerah.

Mungkinkah Ada Kesetaraan?
Persoalan kesetaraan menjadi sesuatu yang penting dibahas bila masyarakat lokal diposisikan sebagai salah satu pilar utama dalam tata kelola sumberdaya. Sebab selama ini, bahkan setelah era otonomi daerah, masyarakat lokal masih "sengaja" diposisikan sebagai objek pembangunan oleh segelintir elite di birokrasi daerah yang bergandeng tangan dengan investor dalam melakukan tata kelola sumberdaya termasuk yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

 

Karena itu segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan sebisa mungkin harus yang berasal dari luar atau bukan yang lokal.

Dapat kita saksikan secara gamblang bahwa simbol-simbol masyarakat lokal seperti ritual-ritual adat sering dipraktikkan oleh para elite ketika masa kampanye pemilihan kepala daerah, atau bagaimana para calon legislatif pun calon kepala daerah mendekati tetua-tetua adat untuk "meminta" restu sebelum maju bersaing dalam proses pemilihan umum.

Hal semacam ini adalah sesuatu yang umum terjadi di NTT. Namun, kedekatan dengan simbol-simbol lokal ini masih berada pada level instrumentalis semata. Artinya, simbol-simbol dan tetua-tetua lokal ini didekati untuk dijadikan semacam sarana pencitraan belaka. Dengan demikian tidak ada kesetaraan di sana.

Kesetaraan di sini berarti masyarakat lokal dapat berbicara atas nama dirinya sendiri, dan mengemukakan konsep-konsep lokal yang relevan untuk sebuah kebijakan pengelolaan sumberdaya. Tugas pemerintah dan lembaga intermediari seperti Gereja ialah menerjemahkan konsep-konsep lokal ini ke dalam term-term yang bisa dipahami oleh kalangan umum.

Lembaga-lembaga akademis juga dapat melibatkan diri misalnya dengan membantu membuat analisa lebih mendalam atas pengetahuan-pengetahuan lokal ini dan memberi rekomendasi-rekomendasi yang dianggap perlu kepada pemerintah berdasarkan hasil analisa konsep-konsep pengetahuan lokal dalam proses pengambilan kebijakan khususnya yang terkait dengan tata kelola sumberdaya.

 

Hal ini penting untuk meminimalisir peluang manipulasi pengetahuan lokal untuk memuluskan kepentingan segelintir orang atau sebagian pihak yang berorientasi pada keuntungan dalam tata kelola sumberdaya di daerah. Sudah saatnya trik-trik kotor yang memanfaatkan masyarakat lokal untuk mereguk keuntungan itu dihentikan dan diganti dengan jalinan baru simpul-simpul mutual yang dapat memberi sumbangsih bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal di daerah yang kaya sumberdaya, termasuk penguatan simpul pengetahuan lokal dalam tata kelola sumberdaya daerah.*

-----------------------------------------

Gusty Fahik - Staf pada Institut SOPHIA, Kupang

[Originally published in: Pos Kupang]