event 2016-01-25   local_offer Local Knowledge   edit Rosdi Bahtiar Martadi

Kemajuan Beresiko Tinggi, demikian kalimat yang tertulis dalam lembaran Policy Brief Diseminasi Riset Penguatan Lokal Bagi Tata Kelola Sumberdaya Research Centre for Politics and Government Universitas Gajah Mada (Polgov UGM). Kalimat “Kemajuan Beresiko Tinggi” diletakkan di halaman pertama lembaran yang pengantar diskusi Policy Brief yang berlangsung di Surabaya, 26 Januari 2016. Tentu ada sekian alasan mengapa Polgov UGM menempatkan kalimat tersebut sebagai pembuka lembaran Policy Brief. Seolah hendak mengingatkan banyak pihak (terutama pengambil kebijakan), Polgov menempatkan kalimat tersebut di lembar pertama policy brief-nya. Tentu bukan tanpa alasan, jika kalimat tersebut juga bersanding dengan judul lembaran Policy Brief yang berbunyi : “Hindari Keserampangan Pengerukan Alam”.

Saya juga menggarisbawahi kalimat tersebut. Dalam konteks rencana eksploitasi emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP), kalimat “Kemajuan Beresiko Tinggi” tersebut sejatinya adalah alarm bagi pengambil kebijakan (terutama bagi pejabat yang terlibat dalam penurunan status Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi). Emas memang akan membuat kaya Banyuwangi, tapi dengan taruhan kehilangan sumberdaya lain, karena itulah tambang emas masuk dalam kategori kemajuan beresiko tinggi.

Pilihan kalimat “Kemajuan Beresiko Tinggi” adalah pilihan khas akademisi yang tentu saja basah kuyup oleh aspek-aspek etika dan kesantunan-kesantunan khas intelektual. Dengan kata lain, saya memandang sebenarnya kalimat “Kemajuan Beresiko Tinggi” adalah upaya Polgov UGM untuk secara santun mengatakan bahwa tambang emas di Tumpang Pitu itu berbahaya bagi sumberdaya lain yang lebih berkelanjutan seperti : pertanian, kelautan, kehutanan, pariwisata.

Pertanyaannya, mengapa tambang emas di HLGTP tersebut itu beresiko tinggi? Pertama, karena lokasi tambang itu sendiri. Emas yang akan dieksploitasi itu berada di Tumpang Pitu, sebuah hutan lindung yang sekaligus menyandang predikat Kawasan Rawan Bencana (KRB). Sejarah mencatat, pada tanggal 3 Juni 1994, Tumpang Pitu dan sekitarnya (wa bil khusus Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Banyuwangi) telah luluh-lantak oleh Tsunami. Catatan bahwa dusun-dusun di sekiar Tumpang Pitu perna hancur diterjang Tsunami inilah yang menahbiskan Tumpang Pitu dan sekitarnya sebagai KRB. Dan, menambang di Kawasan Rawan Bencana adalah termasuk kategori aktivitas yang ber-resiko tinggi. Menambang di Kawasan Rawan Bencana ibarat menempatkan sebuah gelas di pinggir meja dengan keadaan separuh dasar gelasnya menjejak meja sementara separuhnya lagi menjejak udara : sungguh berbahaya.

Alasan berikutnya, adalah tentang proses pemurnian emas itu sendiri. Pemurnian emas hanya dua pilihannya : kalau tak merkuri, ya sianida. Awalnya, PT Indo Multi Niaga (IMN, perusahaan yang hendak mengeksploitasi emas HLGTP) berencana akan menggunakan merkuri untuk memurnikan emas yang diincarnya. Lalu bergantilah merkuri ketika masuk era PT Bumi Suksesindo (BSI). Taruhlah misal, sianida yang dipilih (berikut dengan janji takkan dibuang ke laut karena akan menerapkan kolam penampung) maka tetap saja pilihan itu adalah pilihan berbahaya karena—sekali lagi—lokasi tambang itu di Kawasan Rawan Bencana. Siapa yang berani menjamin Tsunami takkan pernah berulang di kaki Tumpang Pitu? Jika Tsunami menerjang Tumpang Pitu, siapa yang berani menjamin kolam penampung sianida tersebut akan kuat menahan gempuran Tsunami?
Tsunami tahun 1994 adalah Tsunami tanpa sianida. Bagaimana jadinya jika Tsunami tersebut berpadu dengan sianida?

Urusan ke-rawan-bencana-an ini secara implisit telah digarisbawahi oleh Polgov UGM. Dalam lembaran Policy Brief-nya, Polgov UGM memberikan layout istimewa terhadap hal-ikhwal ke-rawan-bencana-an ini, khususnya tentang Tsunami. Secara layout, kisah tentang Tsunami ini diletakkan di atas kalimat “Kemajuan Beresiko Tinggi”. Kisah tentang Tsunami ini diberi bingkai garis dengan maksud agar menjadi perhatian utama bagi pembacanya (setidak begitu tafsiran saya). Tak hanya itu, kisah tentang Tsunami ini ditempatkan persis di bawah judul lembaran Policy Brief Polgov UGM. Seolah ingin mengajak semua pihak untuk mengingat dan terus mengingat Tsunami, lalu menjadikan Tsunami sebagai pertimbangan utama dan pertama dalam memutuskan penambangan emas di kawasan yang pernah didera Tsunami : Tumpang Pitu.

Tentu bukan kebetulan jika Polgov UGM menempatkan Tsunami sebagai “kisah pembuka” atau paragraf pembuka lembaran policy brief yang ditulisnya. Keistimewaan kisah Tsunami ini kian terasa istimewa, ketika dalam paragraf pertama tersebut, Polgov menyandingkannya dengan keyakinan para penyintas (warga sekitar Tumpang Pitu yang selamat dari Tsunami) bahwa Gunung Tumpang Pitu menjadi benteng alam dari terjangan Tsunami. Dalam paragraf pertama Policy Brief-nya, Polgov UGM juga menuliskan bagaimana nilai penting Gunung Tumpang Pitu bagi warga dalam menjaga pemukiman dari daya-rusak angin barat daya. Selain itu, kisah Tsunami ini juga diletakkan Polgov UGM dengan peran Gunung Tumpang Pitu sebagai penunjuk arah pulang bagi nelayan lokal yang telah melaut jauh.

Cara pandang warga—khususnya penyintas—terhadap Tumpang Pitu, sesungguhnya adalah pengetahuan lokal yang menahun. Ketika cara pandang tersebut disajikan Polgov UGM di halaman pertama lembaran Policy Brief-nya, maka saya menangkap bahwa Polgov UGM tengah mendenyarkan tanda akan ada pengetahuan lokal yang hilang (minimal te-reduksi) jika perusahaan diijinkan menjalankan open pit minning—yang tentu saja mengubah bentang alam dengan ekstrem.

Dengan kata lain, Gunung Tumpang Pitu akan kehilangan perannya sebagai benteng alam dari Tsunami jika dia (Tumpang Pitu) ditambang. Tambang yang akan dijalankan tentu akan mengubah bentang alam, dan jika bentang alam (topografi) Tumpang Pitu berubah maka Tumpang Pitu tak lagi bisa jadi benteng alam dari terjangan Tsunami.

Begitu pula peran Gunung Tumpang Pitu sebagai benteng alami bagi pemukiman dari saputan daya-rusak angin barat daya. Tambang akan mengepras Gunung Tumpang Pitu hingga bentuknya (bentang alamnya) berubah dalam skala ekstrem, dan jika perubahan bentuk itu terjadi maka fungsi Tumpang Pitu sebagai benteng alam dari saputan angin barat daya akan hilang.

Gunung Tumpang Pitu sebagai benteng alam dari Tsunami, demikian sudut pandang warga yang dijumput oleh Polgov UGM.

Gunung Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari Tsunami ; Gunung Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari daya-rusak angin barat daya ; Gunung Tumpang Pitu sebagai penanda arah pulang bagi nelayan ; semua itu adalah cara warga dalam memandang Gunung yang kakinya menyentuh langsung segara kidul (laut selatan) Jawa itu.

Cara pandang warga adalah elemen dasar pembentuk pengetahuan lokal. Cara pandang warga yang kemudian menjadi sudut pandang komunal, sejatinya adalah sudut pandang kolektif sekelompok manusia yang sehari-harinya telah bertahun-tahun “bertetangga” dengan Gunung yang statusnya telah dialihfungsi oleh Menteri Kehutanan (yang saat itu dijabat oleh Zulkifli Hasan).

Artinya, ketika korporasi diijinkan menambang, maka tak hanya bentang alam yang akan secara masif berubah, tetapi juga elemen dasar pembentuk pengetahuan lokal tersebut. Artinya pula, ketika bentang alam Tumpang Pitu diubah oleh korporasi, maka bisa dimaknai bahwa korporasi tak hanya mencopot-paksa fungsi Tumpang Pitu sebagai benteng alami, tetapi juga bisa dimaknai bahwa korporasi tengah menghajar pengetahuan lokal.

KANIBALISASI ANTAR-SUMBERDAYA

Seperti laiknya manusia, kekayaan alam juga beragam jenis dan wataknya. Ada jenis-jenis kekayaan alam yang bisa bersanding, misalnya ; hutan dengan wisata ekologis, hutan dengan pasokan air untuk pertanian, budidaya rumput laut dengan wisata ekologi dll.
Namun ada pula jenis-jenis kekayaan alam yang akan berbenturan dengan potensi lain apabila dieksplotasi atau diekstraksi. Jenis kekayaan alam seperti inilah yang diisitilahkan oleh Polgov UGM sebagai jenis “Kemajuan Beresiko Tinggi”. Dalam konteks Tumpang Pitu, saya menyebutnya sebagai kekayaan alam yang kanibal.

Emas saya katakan sebagai sumberdaya alam yang kanibal karena memang mengancam sumberdaya lain apabila emas tersebut dieksploitasi. Emas itu kesejahteraan, ikan yang melimpah juga kesejahteraan, pertanian juga kesejahteraan, wisata juga kesejahteraan ; tapi bila emas itu dieksploitasi oleh korporasi maka kesejahteraan yang bernama emas itu akan membunuh jenis kesejahteraan lain yang bernama pertanian, perikanan-laut dan wisata. Keadaan inilah yang saya namakan kanibalisasi antar-sumberdaya.

Emas itu sumberdaya, laut itu sumberdaya, jika emas menghancurkan laut, maka itu adalah kanibalisasi antar-sumberdaya. Emas itu sumberdaya, air juga sumberdaya, jika emas merusak air, maka itu adalah kanibalisasi antar-sumberdaya. Emas itu sumberdaya, keindahan alam juga sumberdaya (sumberdaya untuk wisata), jika emas merusak wisata, maka itu adalah kanibalisasi antar-sumberdaya.

Emas adalah sumberdaya alam atau sumber kesejahteraan yang berwatak lain dengan pertanian dan perikanan. Ketidakmampuan emas melepaskan diri dari sianida dan merkuri itulah yang menjadikan emas sebagai jenis “Kemajuan Beresiko Tinggi” (dalam bahasa Polgov UGM). Ketidakmampuan emas melepaskan diri dari sianida dan merkuri itulah yang menjadikan emas sebagai jenis sumberdaya yang kanibal (dalam bahasa saya). Untuk urusan Tumpang Pitu, jika pemerintah merestui korporasi untuk mengeksploitasi emas maka jumlah limbahnya 2.361 ton per hari.

Watak emas tak hanya kanibal. Watak emas lainnya adalah rakus air. Untuk konteks Tumpang Pitu, jika korporasi dilegalkan oleh pemerintah untuk mengeksploitasi emas, maka air yang dibutuhkan dalam pemurnian emas adalah 2,038 juta liter setiap hari ; sungguh ancaman serius bagi pertanian dan juga kebutuhan konsumsi air warga.

Emas adalah kesejahteraan, tapi kesejehteraan yang berwatak kanibal, rakus air, dan ganas dalam mengubah bentang alam. Dalam bahasa jawa, ada istilah gawan bayi (bawaan bayi) yang kurang lebih berarti bawaan sejak lahir atau karakter (watak) yang sudah ada sejak bayi. Tak hanya manusia, emas juga mempunyai gawan bayi (watak sejak lahir). Kanibal adalah gawan bayi emas, rakus air juga gawan bayi emas. Begitu juga dengan ketidakmampuan emas untuk “bersih” dari campur tangan sianida dan merkuri. Keganasan emas dalam mengubah bentang alam juga termasuk gawan bayi emas.

DALIH KESEJAHTERAAN

Ayat 3 dari Pasal 33 UUD 1945 seringkali dijadikan sebagai dasar mengeksploitasi emas. Ayat 3 dari Pasal 33 UUD 1945 adalah dalil kesejahteraan yang kerap didengung-dengungkan untuk memuluskan korporasi dalam menambang emas. “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” begitu bunyi ayat 3 dari Pasal 33 UUD 1945. Bagi mereka yang menggunakan ayat konstitusi tersebut sebagai dasar untuk merestui korporasi mengeksploitasi emas, seharusnya menyadari tentang watak dasar emas, alias gawan bayi yang telah diidap emas sejak lahir.

Dalam ayat 3 Pasal 33 UUD 1945, termaktub kata “air” dan kalimat “kemakmuran rakyat”, pertanyaannya apakah emas bisa dikatakan sebagai kemakmuran rakyat jika air sebagai syarat dasar hidup rakyat justru rusak karena emas? Emas adalah salah satu jenis sumber kesejahteraan, tapi apakah emas masih bisa dikatakan sebagai sumber kesejahteraan ketika justru mengancam sumber kesejahteraan lain seperti : kehutanan, kelautan, pertanian, dan wisata?

SEJARAH PANJANG PENOLAKAN TAMBANG EMAS TUMPANG PITU DAN MERU BETIRI

Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) tak hanya berdekatan, tetapi juga memiliki nasib yang sama, yakni sama-sama sebagai kawasan konservasi yang terancam justru oleh emas yang dikandungnya.

Gerakan penolakan terhadap rencana eksploitasi emas di HLGTP dan TNMB bukanlah gerakan yang baru-baru saja. Meski tak sefrontal gerakan yang tercipta pasca-reformasi, upaya penolakan rencana eksploitasi emas di HLGTP dan TNMB pada jaman orde baru juga ada.

Dengan pertimbangan begitu represifnya rejim orde baru, maka upaya penolakan rencana eksploitasi emas di TNMB dikemas dalam bentuk ekspedisi pecinta alam yang bernuansa penelitian. Beberapa organisasi pecinta alam (OPA) Jawa Timur bergabung melakukan ekspedisi harimau jawa pada tahun 1995 dan 1997. Tujuan ekspedisi tersebut adalah untuk menaikkan posisi tawar Meru Betiri sebagai taman nasional yang juga rumah harimau jawa. Harapannya, bukti-bukti keberadaan harimau jawa itu bisa digunakan oleh TNMB untuk menghentikan rencana penambangan emas.

Ekspedisi harimau jawa tersebut masih disusul dengan upaya lain, yakni penelitian elang jawa yang berlangsung dari tahun 1997 hingga tahun 2000. Penelitian yang dilakukan Forum Kader Konservasi Jawa Timur (FK3I) ini juga untuk menaikkan posisi tawar TNMB sebagai ruang hidup elang jawa (spizaetus bartelsi). Sebagai satwa endemik jawa, elang jawa diyakini pula sebagai sumber inspirasi pembuatan lambang Negara Republik Indonesia, Garuda Pancasila.

Pada tahun 2000, sekitar 34 gabungan organisasi masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana eksploitasi emas di TNMB dengan cara melakukan berbagai aksi termasuk meng-kritisi Panitia Khusus (Pansus) Tambang yang dibentuk DPRD Jember. Tahun 2000 adalah milestone (batu penjuru) yang penting bagi gerakan penolakan tambang emas Jember-Banyuwangi, karena di tahun inilah Nahdatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas besar di Indonesia menolak rencana tambang emas. Pada tanggal 12 Desember NU Jember mendesak Pansus Tambang DPRD Jember dibubarkan.

Dua tahun berikutnya, pada tahun 2002, tujuh organisasi masyarakat sipil Jember-Banyuwangi bekerjasama dengan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menerbitkan buku “Menambang Petaka di Meru Betiri”.

Kerasnya gerakan tersebut, membuat isu tambang emas sedikit mereda. Untuk beberapa tahun, kabar-kabar tentang tambang emas mulai meredup. Namun pada kurun waktu tahun 2007 hingga 2008, isu tambang emas ini kembali memanas. Kecepatan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari dalam merespon keinginan PT IMN untuk mengeksploitasi emas Tumpang Pitu, mendapatkan reaksi dari gabungan organisasi non-pemerinta (ornop) dan organisasi kemahasiswaan.

Pada Februari 2008, delapan organisasi mahasiswa dan dua ornop yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Lingkungan (AMMPeL) melakukan aksi untuk mendesak Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari agar tak mengijinkan PT IMN mengeksploitasi emas Tumpang Pitu.

Empat bulan setelah itu, pada bulan Juni 2008, Organisasi-organisasi nelayan Muncar yang tergabung dalam Forum Peduli Masyarakat Nelayan Banyuwangi (FPMNB) menggelar Istighotsah penolakan tambang emas Tumpang Pitu. FPMNB dikoordinatori ini oleh Damanhuri.
Istighotsah dilakukan di pelataran kantor BPPI Muncar. Istighotsah dipimpin oleh Ustadz Azhari. Ikut hadir pula dalam Istighotsah ini adalah ketua Komisi B DPRD Banyuwangi Khoirullah Nahrowi.

Dan masih banyak lagi catatan-catatan tentang upaya-upaya penolakan rencana eksplotasi emas HLGTP yang terentang dari 2008 hingga 2015. Bentangan upaya penolakan rencana eksplotasi emas Banyuwangi-Jember sepanjang tahun 2000 hingga tahun 2015 itu memberi makna bahwa upaya tersebut adalah upaya yang panjang dari kekuatan sipil yang merasa sumber-sumber penghidupannya terancam.

HING SUMBUT

Apabila mau mendalami catatan-catatan tersebut, sebenarnya tak hanya soal sumber-sumber penghidupan warga saja yang terancam. Peluang robeknya kohesi sosial antar-warga yang tak ternilai oleh uang, harus jadi pertimbangan utama bagi pengambil kebijakan. Emas berpeluang mendemarkasi warga menjadi dua kelompok, yakni kelompok penerima manfaat (pro-tambang), dan kelompok penerima resiko tambang. “Demarkasi” ini tentunya akan mendorong dua kelompok tersebut untuk berbenturan dalam konflik horisontal. Hal-hal yang bersifat statistik akan mendorong kita melakukan perhitungan-perhitungan terhadap sebuah dampak, atau mendorong kita untuk meng-angka-kan semua resiko, atau secara sarkastik : hal-hal statistik akan mendorong kita mengukur semuanya dengan uang : menyajikan dan menilai kerusakan-kerusakan alam dengan rupiah. Hal-hal statistik mendorong kita melakukan simplifikasi instan untuk menghitung “berapa harga kerusakan sebuah gunung jika dirupiahkan?”
Namun bisakah gelegak meng-angka-kan segalanya ini digunakan untuk merupiahkan rusaknya kohesi sosial? Jika terjadi konflik horisontal antara warga yang pro-tambang dengan warga kontra-tambang, bisakah hal tersebut diverifikasi dengan uang? Bisakah emas mengganti robeknya kohesi sosial? Jika konflik horisontal telah mengakibatkan hilangnya nyawa, bisakah nyawa diverifikasi dengan rupiah? Diluar hal-hal berbau uang dan mineral, ada sekian hal yang tak bisa diukur dengan uang dan emas : karena memang tak terkira nilainya.

Kohesi sosial dan jiwa adalah beberapa hal yang tak ternilai. Robeknya kohesi sosial dan hilangnya jiwa adalah beberapa hal yang takkan pernah bisa diimbangi oleh emas.
Ya, tak imbang.

Tak imbang. Tak sepadan. Gak worthy, kalau kata anak-anak gaul. Gak Sumbut blas, kalau kata orang Jawa Timur.
Hing Sumbut, lik, kalau kata Lare Using.

------------------------------------------------

Rosdi Bahtiar Martadi - the Using indigenous people who objected to the plan of gold mining exploitation in Tumpang Pitu Protected Forest.

[Originally published in Rosdi Bahtiar Martadi's blog]